Saturday, December 1, 2012

Maju Mundur Industri Strategis dan Pertahanan Indonesia II



Sekitar 8-10 tahun ke depan industri permesinan di dalam negeri akan menjadi industri strategis. Karena itu, harus dipersiapkan dari sekarang agar industri itu menjadi mandiri. Industri permesinan itu antara lain industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), industri alas kaki, agro, pabrik gula, pertambangan, alat berat, galangan kapal di atas 50.000 DWT, kapal CNG/LNG carrier, peralatan telepon selular, logam dasar, instalasi petrokimia, mesin peralatan pengolahan pascapanen dan sebagainya. 

"Kami ingin mendorong industri permesinan maka kita akan membutuhkan industri mesin perkakas sebagai jalan untuk menuju kemandirian barang modal. Kini baru ada lima perusahaan pemproduksi mesin perkakas. Maka, kami akan menciptakan embrio Pusat Pengembangan Mesin Perkakas," kata Budi.

Untuk rangka mempersiapkan industri ke depan, Kementerian Perindustrian kini mendalami infrastruktur industri di dalam negeri. Pendalaman infrastruktur industri itu tidak lain adalah upaya untuk mempersiapkan induslri strategis nasional di masa depan. Kalau sebuah industri sudah berubah status strategisnya, bukan berarti industri yang sebelumnya dianggap strategis itu harus ditinggalkan. 

Industri itu tetap digarap dengan baik. Bagi Budi, faktor yang memengaruhi indutri strategis adalah penguasaan teknologi dan political will yang lebih kuat serta lebih ekstra dari seluruh stakeholder. Teknologi menyangkut SDM, peralatan, perangkat lunak, dan manajemen teknologi. "Industri pada umumnya merupakan kegiatan jangka panjang, sedangkan kegiatan perdagangan merupakan kegiatan jangka pendek. Sebab itu, kegiatan industri dan perdagangan harus sejalan dengan mengikuti keputusan yang strategis," ungkapnya. 

Budi menilai keputusan yang strategis serta grand design yang tepat merupakan dua kunci pengembangan industri strategis di masa depan. Sebab, pengembangan industri strategis tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan yang matang sehingga harus dilakukan secara by design. Pemerintah dapat melakukannya dengan menerbitkan regulasi yang tepat dan regulasi itu dalam penerapannya harus didukung penuh oleh seluruh stakeholder. 

Dalam rangka menyongsong pengembangan industri strategis itulah pemerintah bersama seluruh stakeholder industri nasional beberapa kali mengadakan urun rembuk guna mempersiapkan arah pengembangan industri strategis ke depan. Kementerian ini telah meletakkan dasar pengembangan industri nasional ke depan dengan menyusun Kebijakan Industri Nasional yang diharapkan dapat menjadi panduan (road map) dalam pengembangan industri di dalam negeri. Ini dilakukan agar industri strategis tidak maju mundur.


Saturday, November 10, 2012

Presidential Innovation Lecture: Prof. Habibie

Presidential - Innovation Lecture Bacharudin Jusuf Habibie
Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI NASIONAL 2012
Bandung, 10 Agustus 2012



Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Membangun Kemandirian Bangsa

Ysh. Gubernur/Kepala Daerah Propinsi Jawa Barat,
Ysh. Para Pejabat Kementerian Riset Dan Teknologi,
Ysh. Muspida dan Pejabat tingkat Propinsi Jawa Barat,
Bapak‐bapak dan Ibu‐ibu para peneliti, penggiat dan pemerhati Iptek yang saya cintai,
Hadirin yang terhormat,

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua.

HAKTEKNAS DAN N‐250

Hari ini tanggal 10 Agustus 2012, 17 tahun lalu, tepatnya 10 Agustus 1995, dalam rangka peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, bangsa kita telah menggoreskan pena sejarahnya dengan terbang perdana pesawat terbang canggih N‐250. Pesawat turboprop tercanggih ‐‐ hasil disain dan rancang bangun putra‐putri bangsa sendiri ‐‐ mengudara di atas kota Bandung dalam cuaca yang amat cerah,seolah melambangkan cerahnya masa depan bangsa karena telah mampu menunjukkan kepada dunia kemampuannya dalam penguasaan sain dan teknologi secanggih apapun oleh generasi penerus bangsa. Bandung memang mempunyai arti dan peran yang khusus bagi bangsa Indonesia. 

Bukan saja sebagai kota pendidikan, kota pariwisata atau kota perjuangan, namun Bandung juga kota yang menampung dan membina pusat‐pusat keunggulan Iptek, sebagai penggerak utama proses nilai tambah industri yang memanfaatkan teknologi tinggi (high tech). 

Kita mengenang peristiwa terbang perdana pesawat N250 itu sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (HAKTEKNAS), yang dalam pandangan saya merupakan salah satu dari lima “Tonggak Sejarah”bangsa Indonesia, yaitu:

Pertama : Berdirinya Budi Utomo, 20 Mei 1908 (Hari Kebangkitan Nasional – 20 Mei);

Kedua : Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 (Hari Sumpah Pemuda – 28 Oktober);

Ketiga : Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945
(Hari ProklamasiKemerdekaan ‐ 17 Agustus);

Keempat : Terbang perdananya pesawat paling canggih Turboprop N250
(Hari KebangkitanTeknologi Nasional – 10 Agustus);

Kelima : Diperolehnya “Kebebasan”, dengan dimulainya kebangkitan demokrasi pada tanggal 21 Mei 1998.

Pada tahun 1985, sepuluh tahun sebelum terbang perdananya, telah dimulai riset dan pengembangan pesawat N250. 

Semua hasil penelitian dari pusat‐pusat keunggulan penelitian di Eropa dan AmerikaUtara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmurekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi, ilmu pengendalian mutu (qualitycontrol) dsb, telah dikembangkan dan diterapkan di industri IPTN, di Puspitek, di BPPT dan di ITB.

Dengan terbangnya N250 pada kecepatan tinggi dalam daerah “subsonik” dan stabiltas terbangdikendalikan secara elektronik dengan memanfaatkan teknologi “fly by wire”, adalah prestasi nyatabangsa Indonesia dalam teknologi dirgantara. Dalam sejarah dunia penerbangan sipil, pesawat N250adalah pesawat turboprop yang pertama dikendalikan dengan teknologi fly by wire.

Dalam sejarah dunia dirgantara sipil, pesawat Jet AIRBUS A300 adalah yang pertama kali menggunakanteknologi fly by wire, namun AIR BUS 300 ini terbang dalam daerah “transsonic” dengan kecepatantinggi, sebagaimana kemudian juga Boeing‐777. 

Fakta sejarah mencatat bahwa urutan pesawat penumpang sipil yang menerapkan teknologi canggihuntuk pengendalian dan pengawasan terbang dengan “fly by wire” adalah sebagai berikut:

1. A‐300 hasil rekayasa dan produksi Airbus Industri (Eropa)

2. N‐250 hasil rekayasa dan produksi Industrie Pesawat Terbang Nusantara IPTN, sekarang bernama PT. Dirgantara Indonesia (Indonesia)

3. BOEING 777 hasil rekayasa dan produksi BOEING (USA)



Fakta sejarah dunia dirgantara juga mencatat bahwa 9 bulan sebelum N250 melaksanakan terbangperdananya, pada hari Rabu tanggal 7 December 1994 di Montreal Canada, kepada tokoh yang dianggap paling berjasa dalam industri dirgantara sipil dunia diberikan medali emas:
“Edward Warner Award ‐ 50 Tahun ICAO”. 

Penghargaan tersebut diberikan dalam rangka memperingati 50 tahun berdirinya“International Civil Aviation Organisation atau ICAO”, yang didirikan pada hari Kamis tanggal 7 Desember 1944 di Chicago – USA oleh Edward Warner bersama beberapa tokoh industri dirgantara yang lain. ICAO didirikan dengan tujuan membina perkembangan Industri dirgantara sipil di dunia. Upacarapenghargaan tersebut dihadiri oleh para Menteri Perhubungan Negara yang anggota Perserikatan Bangsa Bangsa. Dalam upacara yang sangat meriah, khidmat dan mengesankan tersebut, Sekretaris Jenderal ICAO Philippe Rochat yang didampingi oleh Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros‐Ghali, menyerahkan medali emas “Edward Warner Award 50 Tahun ICAO” oleh kepada putra indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie.

Bukankah kedua Fakta Sejarah Dirgantara ini telah membuktikan bahwa kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas SDM di Amerika, Eropa, Jepang dan China? Dengan peristiwa tersebut kita dapat membuktikan kepada generasi penerus Indonesia serta masyarakat dunia, bahwa bangsa Indonesia memiliki kemampuan dan kualitas yang sama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) secanggih apapun yang sekaligus dilengkapi dengan kokohnya iman dan taqwa (Imtaq). Peningkatan jumlah dan kualitas manusia Indonesia yang terdidik tersebut juga melahirkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di kalangan generasi muda.

Para hadirin yang berbahagia Bukan hanya Pesawat Terbang N250 yang dipersembahkan oleh Generasi Penerus sebagai hadiah Ulang Tahun Kemerdekaan ke‐50 kepada Bangsa Indonesia 17 tahun yang lalu, tetapi mereka juga menyerahkan Kapal untuk 500 Penumpang dan Kereta Api Cepat, yang semuanya dirancang bangun oleh Generasi Penerus. Hal yang sekarang patut kita tanyakan adalah:

Hadiah HUT Kemerdekaan ke 67 apa yang dapat kita persembahkan pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 17 Tahun setelah prestasi yang membanggakan itu? Bagaimana keadaan Industri Strategis yang telah menghasilkan produk andalan yang membanggakan 17 Tahun yang lalu? Bagaimanakah keadaan industri Dirgantara dan Industri penunjangnya sekarang? Bagaimana perkembangan pusat keunggulan Ilmu Aerodinamik, Gadynamik, Getaran (LAGG), Ilmu Konstruksi Ringan (LUK), Elektronik (LEN) dsb. yang telah dimulai puluhan tahun yang lalu? Bagaimana keadaan pendidikan SDM yang mampu menguasai teknologi secanggihapapun? Masih banyak pertanyaan yang patut kita berikan dan jawab! 4 Pertanyaan tersebut di atas dapat dijawab dengan mengkaji fakta dan kecenderungan sebagai berikut: Produk pesawat terbang, produk kapal laut dan produk kerata api yang pernah kita rancangbangun dalam “eufori reformasi” telah kita hentikan pembinaannya atau bahkan sedangdalam “proses penutupan”.

Misalnya PT. DI yang dahulu memiliki sekitar 16.000 karyawan,sekarang tinggal kurang‐lebih 3.000 karyawan, yang dalam 3 sampai 4 tahun mendatangdipensiun karena tidak ada kaderisasi dalam segala tingkat. Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang mengkoordinir 10 Perusahaan yang pada tahun1998 memiliki kinerja turn‐over sekitar 10 Milliard US$ dengan 48.000 orang karyawan, kemudian dalam “eufori reformasi” dibubarkan! Pembinaan Industri Dirgantara, Industri Kapal,Industri Kereta Api, Industri Mesin, Industri Elektronik‐Komunikasi dan Industri Senjata, dsb.tidak lagi mendapat perhatian dan pembinaan!

KEPPRES No. 1 tahun 1980 tentang ketentuan penggunaan produk pesawat buatan dalamnegeri dihapus dan PTDI tidak lagi didukung secara finansial maupun kebijakan industripendukung lain. PTDI berupaya untuk tetap bertahan hidup (survive) dengan berkonsentrasi kepada penjualanproduk yang ada a.l. CN235 dan pesawat lisensi NC212 dan helikopter. Di lain pihak, biaya pengembangan pesawat: termasuk pendidikan SDM terampil  dianggaphutang kepada Pemerintah, yang mengakibatkan pembukuan PTDI buruk di mata perbankansehingga menyulitkan industri untuk dapat beroperasi dan tidak memungkinkan industriberinvestasi. 

PT. DI melakukan diversifikasi usaha di berbagai bidang a.l., jasa aerostructure, engineeringservice dan maintenance‐repair‐overhaul dan tidak lagi menitikberatkan pada rancang bangundan produksi. Dengan terpuruknya program pengembangan dalam negeri, banyak design engineers yangmemilih pergi ke luar negeri (a.l. Amerika, Eropa) untuk bekerja di industri pesawat terbanglain. Sebagian besar dalam beberapa tahun pulang, setelah negara setempat mendahulukanpekerja lokal dibandingkan dengan pekerja asing (kasus: Embraer).

Dengan berjalannya waktu, tanpa program pengembangan, PTDI tidak dapat melakukanpergantian/regenerasi karyawan engineering, yang pada gilirannya mengancam kapabilitasdan kompetensi PTDI sebagai produsen pesawat. Apa yang dialami oleh PT. Dirgantara, dialami pula oleh semua perusahaan yang dahuludikoordinir oleh Badan Pengelolah Industri Strategis, BPIS. 

Segala investasi yang dilaksanakan pada perkembangan dan pendidikan SDM yang trampil tanpakita sadari telah “dihancurkan” secara sistimatik dan statusnya kembali seperti kemampuanbangsa Indonesia 60 tahun yang lalu! Prasarana dan sarana pengembangan SDM di Industri, di PUSPITEK, di Perguruan Tinggi (ITB, ITS,UI, UGM, dsb.) serta di pusat‐pusat keunggulan yang dikoordinasikan oleh Menteri Riset danTeknologi dialihkan ke bidang lain atau dihentikan, sehingga teknologi untuk meningkatkan“nilai tambah” suatu produk secanggih apapun yang dibutuhkan oleh pasar domestik dikurangi dan bahkan dihentikan pembinaannya dan diserahkan kepada karya SDM bangsa lain dengan membuka pintu selebar‐lebarnya untuk impor!

Pasar Domestik yang begitu besar di bidang transportasi, komunikasi, kesehatan dsb.“diserahkan” kepada produk dimpor yang mengandung jutaan “jam kerja” untuk penelitian,pengembangan dan produksi produk yang kita butuhkan. Produk yang dibutuhkan itu harus kita biayai dengan pendapatan hasil ekspor sumber daya alamterbaharukan dan tidak terbaharukan, energi, agro industri, pariwisata, dsb. 

Ternyata potensiekspor kita ini tidak dapat menyediakan jam kerja yang dibutuhkan sehingga SDM di desa haruske kota untuk mencari lapangan kerja atau ke luar negeri sebagai TKI dan TKW. Akibatnya,proses pembudayaan dalam rumah tangga terganggu dsb. dsb. Proses pembudayaan ("Opvoeding, Erszeihung, Upbringing”) harus disempurnakan dengan proses pendidikan dansebaliknya, karena hanya dengan demikian sajalah produktivitas SDM dapat terus ditingkatkanmelalui pendidikan dan pembudayaan sesuai kebutuhan pasar. Pertumbuhan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seharusnya dipelihara setinggimungkin untuk dapat meningkatan “pendapatan bruto masyarakat” atau peningkatan“kekayaan national” atau “national wealth”. 

Namun pemerataan pemberian kesempatanberkembang, pemerataan pendidikan‐pembudaaan dan pemerataan pendapatanlah yang padaakhirnya menentukan kualitas kehidupan, kualitas kesejahteraan dan kualitas ketentraman yangmenjadi sasaran tiap masyarakat. Bukankah jam kerja yang terselubung pada tiap produk yang kita beli itu pada akhirnyamenentukan tersedianya lapangan kerja atau mekanisme proses pemerataan dalam arti yangluas itu? Kita harus pandai memproduksi barang apa saja yang dibutuhkan di pasar nasional dan memberiinsentip kepada siapa saja, yang memproduksi di dalam negeri, menyediakan jam kerja danakhirnya lapangan kerja. Potensi pasar nasional domestik kita sangat besar. Misalnya, pertumbuhan penumpang pesawatterbang sejak 10 tahun meningkat sangat tinggi, sekitar 10% ‐ 20% rata2 tiap tahun. 

Produksi pesawat terbang turboprop N250 untuk 70 penumpang  yang sesuai rencana pada tahun 2000sudah mendapat sertifikasi FAA  dan Pesawat Jet N2130 untuk 130 penumpang – yang sesuairencana akan mendapat sertfikasi FAA pada tahun 2004 – adalah jawaban kita untuk memenuhikebutuhan pasar. Kedua produk yang dirancang bangun oleh putra‐putri generasi penerus iniyang mengandung jutaan jam kerja, bahkan harus dihentikan. 

MENGAPA? ? ?

Demikian pula dengan produksi kapal Caraka Jaya, Palwobuwono dan kapal Container yangharus dihentikan. Produksi kerata api harus pula dihentikan. Walaupun pasar domestik nasional begitu besar, namun sepeda motor, telpon genggam dsb. yang semuanya mengandung jam kerja yang sangat dibutuhkan  nyatanya barang‐barangtersebut tidak diproduksi di dalam negeri.



 MENGAPA? MENGAPA? MENGAPA?

Memang kesejahteraan meningkat, golongan menegah meningkat dan pertumbuhan meningkatpula, namun proses pemerataan belum berjalan sesuai kebutuhan dan kemampuan kita. Ini hanya mungkin jikalau jam kerja yang terkandung dalam semua produk yang dibutuhkanitu secara nyata diberikan kepada masyarakat madani Indonesia. Oleh karena itu padakesempatan untuk berbicara di hadapan para peserta Sidang Paripurna MPR tanggal 1 Juni 6 Tahun 2011, saya garis bawahi pentingnya kita menjadikan NERACA JAM KERJA sebagaiIndikator Makro Ekonomi disamping NERACA PERDAGANGAN dan NERACA PEMBAYARAN. 

Para hadirin yang berbahagia Pada peringatan HAKTEKNAS tahun 2012 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi peran Iptek dalam kehidupanberbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka meningkatkan daya saing dan produktivitas nasional,serta untuk menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, dan hal tersebut akan mensyaratkan solusi yang tepat, terencana dan terarah.

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk‐produk ke Negara asal,sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo‐colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru". (Hal tersebut telah saya sampaikan pada Pidato Peringatan Kelahiran Pancasila di hadapan Sidang Pleno MPR RI tanggal 1 Juni 2011 yang lalu). 

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus‐kampus serta di lembaga‐lembaga kajian dan penelitian lain untuk secara serius merumuskan implementasi peran iptek dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan.Terkait dengan hal tersebut, saya sangat menghargai upaya Pemerintah dalam membentuk Komite Inovasi Nasional (yang dikenal dengan KIN) dan Komite Ekonomi Nasional (yang dikenal dengan KEN)dengan tugas sebagai advisory council untuk mendorong inovasi di segala bidang dan mempercepat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. 

Saya mengetahui bahwa KIN maupun KEN telah merumuskan berbagai strategi dan kebijakan dan agenda aksi, khususnya yang menyangkut perbaikan ekosistem inovasi dan pengembangan wahana transformasi industri. Apa yang ingin saya ingatkan ialah, jangan sampai berbagai konsep yang dirumuskan oleh KIN maupun KEN tersebut hanya berhenti ditingkat masukan kepada Presiden saja, atau pun di tingkat rencana pembangunan saja, namun perlu direalisasikan dalam kegiatan pembangunan nyata. Jangan kita merasa puas dengan wacana maupun berencana, namun ketahuilah bahwa rakyat menunggu aksi nyata dari kita semua, baik para penggiat teknologi, penggiat ekonomi,pemerintah maupun lembaga legislatif.Saya juga menyarankan agar Pemerintah maupun Legislatif perlu lebih proaktip peduli dan bersungguhsungguhdalam pemanfaatan produk dalam negeri dan “perebutan jam kerja”. 

Kerjasama Pemerintah Daerah dan Pusat bersama dengan wakil rakyat di lembaga Legeslatif Daerah dan Pusat perluditingkatkan konvergensinya ke arah lebih pro rakyat, lebih pro pertumbuhan dan lebih pro pemerataan.7Pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan pesan dan himbauan, hendaknya kita pandaipandaibelajar dari sejarah. Janganlah kita berpendapat bahwa tiap pergantian kepemimpinan harusdengan serta‐merta disertai pergantian kebijakan, khususnya yang terkait dengan program penguasaandan pernerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita mengetahui bahwa dalam penguasaan,pengembangan dan penerapan teknologi diperlukan keberlanjutan (continuity).

Jangan sampaipengalaman pahit yang dialami industri dirgantara dan industri strategis pada umumnya sebagaimanasaya sampaikan di atas  terulang lagi di masa depan! Jangan sampai karena eufori reformasi ataukarena pertimbangan politis sesaat kita tega “menghabisi” karya nyata anak bangsa yang dengan penuhketekunan dan semangat patriotisme tinggi yang didedikasikan bagi kejayaan masa depan Indonesia. Para hadirin yang berbahagia Kita dapat bersyukur bahwa bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang multi etnik dan sangat pekaterhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhana wata’alla.

Oleh karena itu PANCASILA adalah falsafah hidup nyata bangsa ini yang dari masa ke masa selalu disesuaikan dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dan peradaban yang dikembangkan dan diterapkan oleh kita bersama.Dapat kita catat, bahwa saat ini bangsa kita sudah keluar dari “euforia kebebasan” dan mulai kembali ke“kehidupan nyata” antara bangsa‐bangsa dalam era globalisasi. Persaingan menjadi lebih ketat dan berat. Peran SDM lebih menentukan dan informasi sangat cepat mengalir. Kita menyadari bahwa tidak semua informasi menguntungkan peningkatan produktivitas dan daya saing SDM Indonesia. 

Budaya masyarakat lain dapat memasuki ruang hidup keluarga. Kita harus meningkatkan “Ketahanan Budaya”sendiri untuk mengamankan kualitas iman dan taqwa (Imtak) yang melengkapi pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang diberikan dalam sistem pendidikan dan pembudayaan kita, yang menentukan perilaku, produktivitas dan daya saing Generasi Penerus.Kita sudah Merdeka 67 Tahun, sudah Melek Teknologi 17 Tahun, sudah Bebas 14 Tahun. Kita sadar akan keunggulan masyarakat madani yang pluralistik, sadar akan kekuatan lembaga penegak hukum(Yudikatif) dan informasi yang mengacu pada nilai‐nilai PANCASILA dan UUD‐45 yang terus disesuaikandengan perkembangan pembangunan nasional, regional dan global. 

Saya akhiri sambutan ini dengan ucapan:

REBUT KEMBALI JAM KERJA! WUJUDKAN KEMBALI KARYA NYATA YANG PERNAH KITA MILIKI UNTUK PEMBANGUNAN PERADABAN INDONESIA! BANGKITLAH, SADARLAH ATAS KEMAMPUANMU!

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh

Bandung, 10 Augustus 2012. Bacharuddin Jusuf Habibie

Thursday, November 1, 2012

Maju Mundur Industri Strategis dan Pertahanan Indonesia I



SEKTOR industri memegang peranan sangat penting bagi perekonomian nasional, terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Sektor ini mampu memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat dan dalam perolehan devisa negara melalui kegiatan ekspor berbagai produk hasil industri. Dari sekian banyak cabang industri, sejumlah industri memiliki karakteristik khas yaitu strategis bagi bangsa dan negara Indonesia.

Pengertian strategis dalam hal ini sangat dinamis sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis yang terjadi, baik di dalam wilayah domestik, regional maupun internasional. Dalam menghadapi persaingan yang makin ketat di kancah ekonomi dunia dewasa ini, bangsa Indonesia perlu menetapkan kelompok industri yang termasuk ke dalam industri strategis secara ekonomi ini. Hal itu dimaksudkan agar terjadi satu kesatuan persepsi, visi dan misi dalam upaya mengembangkan sektor industri di Tanah Air. 

Dirjen Industri Unggulan Basis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian Budi Dharmadi, mengungkapkan bahwa kriteria strategis itu mencakup industri yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak; industri yang paling berpengaruh dan dapat mempersatukan atau mempertahankan NKRI; serta industri yang mampu mempertahankan eksistensi Indonesia di dalam kancah atau percaturan ekonomi dunia sekaligus mampu menciptakan kemandirian ekonomi nasional. "Kita mengategorikan industri strategis secara ekonomis di antaranya industri pupuk, semen, agro, transportasi, telekomunikasi, logam dasar, petrokimia dan lain-lain. 

Kriteria industri strategis secara ekonomis itu berlaku sampai pendapatan per kapita nasional mencapai US$ 6 ribu per kapita per tahun dari sebelumnya US$ 3 ribu per kapita," kata Budi, beberapa waktu lalu.

Artinya, status sebagai industri strategis itu pada beberapa tahun ke depan akan berubah sesuai perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional dan perkembangan konstelasi ekonomi regional dan global. Di antaranya, jika pendapatan per kapita nasional melampaui US$6 ribu per kapita per tahun.

Sebagai contoh pada dekade 1970-an industri komponen produk mainan di Singapura merupakan industri sangat strategis, namun kini industri strategis bagi mereka adalah jasa dan perbankan. 

Contoh lain, Korea menempatkan industri otomotif, perkapalan, IT dan elektronika karena survival negara itu ada pada industri tersebut. Bagi Indonesia yang kini masyarakatnya berpendapatan sekitar US$3 ribu per kapita per tahun di mana setiap tahunnya pendapatan per kapita itu naik sekitar US$400 per tahun, pada sekitar 7-8 tahun ke depan status industri strategisnya akan berubah.

Karena itu, menurut Budi, pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan industri perlu mempersiapkan diri menyongsong perubahan itu agar bangsa Indonesia tidak ketinggalan momentum perubahan itu.

Bersambung.

Wednesday, October 10, 2012

Military Education and Training

Military education and training is a process which intends to establish and improve the capabilities of military personnel in their respective roles.

Military education can be voluntary or compulsory duty. Before any person gets authorization to operate technical equipment or be on the battle field, they must take a medical and often a physical test. If passed, they may begin primary training.

The primary training is recruit training. Recruit training attempts to teach the basic information and training in techniques necessary to be an effective service member.

To achieve this, service members are drilled physically, technically and psychologically. The drill instructor has the task of making the service members fit for military use.

After finishing basic training, many service members undergo advanced training more in line with their chosen or assigned specialties. In advanced training, military technology and equipment is often taught.

Many large countries have several military academies, one for each branch of the service, that offer college degrees in a variety of subjects, similar to other colleges. However, academy graduates usually rank as officers, and as such have many options besides civilian work in their major subject. Higher-ranking officers also have further educational opportunities.

Monday, October 1, 2012

Industri Pertahanan

"Tidak ada pihak yang untung dalam peperangan kecuali para produsen persenjataan"
~The Warlord~
 

Penulis dan Peneliti Muda Mencoba Senjata Buatan Anak Bangsa dari PT. PINDAD

Penciptaan Lapangan Pekerjaan Baru

Di Indonesia saat ini terdapat 51,2 juta usaha mikro dan kecil atau sekitar 98,9 persen dari total jumlah pelaku usaha. Sementara jumlah usaha kecil sebesar 1,01 persen, usaha menengah 0,08 persen, dan usaha besar 0,01 persen.

Namun, sumbangan produk domestik bruto justru sebagian besar berasal dari usaha besar sebesar 44,4 persen, usaha menengah 13,4 persen, usaha kecil 10,1 persen, serta usaha mikro dan kecil 32,1 persen.

Apa kita harus menunggu sampai ada yang mau datang membantu kita?

Tidak.

Kita harus mampu mengembangkan SDM kita sendiri yang diilhami oleh rakyat dan lingkungan kita, yang penguasaan ipteknya sudah dijiwai dan hanya memiliki satu sasaran:

rakyat, rakyat, rakyat, kebutuhan rakyat, dan keuntungan rakyat.

Inilah yang harus kita persiapkan untuk masa depan bangsa Indonesia.

Inilah tugas Industri Strategis, Kementrian Pertahanan, Para Usahawan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga-lembaga Reiset Universitas, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan kita semua. Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Jayalah Indonesia

Wallohualam Bissawab

Monday, September 10, 2012

Indonesia’s Defense Planning and Management




By: Prof. Juwono Sudarsono, M.A., Ph.D.
Defense planning and management is a comprehensive endeavor that encompasses six different areas. There are three core areas: force, resource and weapon systems planning; and three supporting streams: logistics, C4SRI (command, control, communication computer, surveillance, reconnaissance, information) ), and civil emergency. Defense planning relates to other disciplines, such as air and naval technology development, standardization, intelligence, operational planning, and force generation.

Given the current economic constraints arising from the government’s limited budget( Rp 32 trillions or less than 1 % of GDP of Rp 5,220 trillion, and 4,6 % of annual budget of about Rp 780 trillion for fiscal 2008) the underlying theme of Indonesian defense planning for the near and mid-term future is to enhance efficiency by drastically reducing leakages and wastages, especially in the procurement and acquisitions of weapon systems, defense equipment and supplies.

Force planning 

Force planning deals specifically with providing Indonesia with the forces and capabilities of the tri-services to execute their range of missions, in accordance with the Indonesia doctrine of total defence and security (sishankamrata). It seeks to ensure that Indonesia develop sustainable and interoperable forces, which can function even with limited or scarce budgetary resources.


The force planning process is based on three sequential elements: general political guidance, planning targets and defense reviews. Political guidance sets out the overall aims to be met, incorporating President S.B. Yudhoyono’s concept of Minimum Essential Force (MEF) that establishes in military terms the number, scale and nature of operational readiness and force structure that the country as a whole should at a minimum be able to deploy.

Planning targets include both a detailed determination of an integrated tri-service force (Tri-Matra Terpadu) requirements and the setting of implementation targets to fulfill those requirements. Defense reviews provide a means to assess the degree to which planning targets are being met. The term ‘force planning’ is often confused with that of ‘defense planning’, which is much broader (includes non-military defense planning), and that of ‘operational planning’, which is conducted for specific, tactical and command-level military operations, including balancing strike force, support and maintenance/repair capabilities.

Resources Planning 

National resources comprise human resources, natural resources and man-made resources. National resource planning aims to provide the country with the capabilities it needs, but focuses on the elements that are joined in common funding; each service (Angkatan) pool resources within a nation-wide total defense framework.

Resource planning is closely linked to operational planning, which aims to ensure that the Indonesian Defense Force (Tentara Nasional Indonesia, TNI) fulfill its present and minimum operational commitments and face new threats such as terrorism and bio-chemical weapons. There is a distinction between joint funding and common funding: joint funding covers activities, managed by the Ministry of Defense (Dephan) and TNI Headquarters (Mabes TNI), such as integrated acquisitions and procurement of common use items.

Common funding involves three different budgets: the civil budget, which covers the running costs of Dephan and Mabes TNI; the military budget, which essentially covers the running costs of TNI’s integrated command structure and the nation-wide communication and air defense networks; and the Defense Acquisitions Program that covers nation-wide procurement requirements for communication systems, air defense systems and networks of naval stations and bases, fuel supplies and command structures. The military budget and the Defense Acquisitions Program support the theatre headquarter elements for the Army, Navy and Air Force. Relatively speaking, these budgets represent a small amount of money, but they are important for the cohesion and the integration of capabilities of the tri-services.




Weapon Systems Planning 

Weapon systems planning is one of the main constituting elements of Dephan’s defense planning process. It aims to support the country’s political and economic objectives and focuses on the development of inter-service (but not common-funded) programs. It does this by promoting cost-effective acquisition, co-operative development and graduated increased local production of weapons systems . It also encourages interoperability, and technological and industrial co-operation among the three services and related ministries and government agencies.

Dephan’s mandate is to cooperate closely with the Ministry of State Enterprises (Menneg BUMN) which has legal and financial control over five strategic industries: PT Pindad; PT PAL; PT Dana; PT LEN and PT DI; with the Ministry of Industry and the State Ministry for Science and Technology to prepare a long-term plan for developing defense industries which reduces reliance on foreign suppliers; and with the Ministry of Finance for purposes of fiscal accountability.

Logistics Planning 

Logistics planning is an integral part of defense and operational planning. It aims to identify the different logistics capabilities that need to be acquired by the tri-services included in the Defense Planning Ministerial Guidance, and ensure that these capabilities are available to be used by the Command Units for operations. Logistics planning serves as the basis for the overarching cooperative logistics effort with the aim of improving the integration of national logistics planning processes during peace, crisis and conflict. At the force planning level, logistics planning consists of identification of the different civil and military capabilities that each service agree to acquire and to provide for joint-operations missions. The management of these capabilities in-theatre is then undertaken by Mabes TNI within the framework of the operational planning process.

C4SRI Planning 

The effective performance of Indonesia’s political and military functions, requires the widespread utilization of Command, Control, Computer, Communication Surveillance, Reconnaissance, Information (C4SRI) systems, services and facilities, supported by appropriate personnel and agreed doctrine, organizations and procedures. C4SRI systems include communications, information, navigation and identification systems as well as sensor and warning installation systems, designed and operated in a networked and integrated form to meet the needs of the TNI. Individual C4SRI systems may be provided via common funded programs, or by joint-funded co-operative programs.

Co-ordinated C4SRI planning is an essential activity for the achievement of a nation-wide cohesive, cost-effective, interoperable and secure capability which can meet current and projected political and military requirements. It ensures that C4SRI activities conducted under all aspects of defense planning remain coherent throughout the life-cycle of systems and programs, and that end-products and services match real capability requirements.

C3I planning needs to encompass all elements needed for the achievement of capability. Capability does not just come from the provision of materiel (systems) and facilities, but also relies upon the existence of appropriate organization, training, logistics and personnel, and of relevant interoperability. In addition, the achievement of required system capability necessitates the application of a combination of the three core planning disciplines: resource, armaments and force planning. The C4SRI planning process influences and controls the activities of these planning areas to ensure a degree of coherence between them.

Civil Emergency Planning 

Civil emergency planning has two basic dimensions: one dimension are the arrangements that are being made at the national level to protect civilian populations against the consequences of war, terrorist attacks, civic unrest and other major incidents or natural disasters. These include operational arrangements, such as disaster response coordination at national level. The other dimension is the planning to ensure that civil resources can be put to systematic and effective use in support of post-emergency strategy. In essence, this deals with the support that the civilian sector (e.g. transport, supply, communications) can give to the military, primarily in terms of civil support to the military in planning and operations, but also in terms of direct civilian support to crisis response operations.

In sum, civil emergency planning aims to coordinate national planning activity to ensure the most effective use of civil resources in collective support of national strategic objectives. It is a national responsibility and civil assets remain under national control at all times. However, national capabilities are harmonized to ensure that jointly developed plans and procedures will work and that necessary assets are readily available.

Selected Related Areas 

There are a number of other related issues, which are closely linked to the defense planning process. These include air and naval technology planning, standardization, intelligence, operational planning, and force generation.

In brief, air defense planning enables members to harmonize their national efforts with international planning related to air command and control and air defense weapons. National air defense provides a network of interconnected systems enabling aircraft and tactical weapons to be detected either by maritime and ground-based systems or by interceptor aircraft. The extension of this air defense system with the civilian radar network is currently being considered by Dephan and the Ministry of Transportation (Dephub).

Naval technology planning aims to synchronize available domestic industry and foreign suppliers to ensure that maritime surveillance and defense match mid as well as long term requirements of deterrence as well as effective naval enforcement within and adjacent to Indonesia’s territorial seas.

Standardization is key to increasing the combined operational effectiveness of all military forces. It explores ways of improving cooperation and eliminating duplication in research, development, production, procurement and support of defense systems. Dephan leads in establishing industry standards, platforms and systems that affect production costs of key individual service requirements: e.g. infantry fighting vehicles for the Army, missile fast patrol boats for the Navy, transport aircraft for the Air Force.


Intelligence plays an important role in the defense planning process, in particular with the emergence of multidimensional security challenges such as terrorism and the proliferation of weapons of mass destruction. Improved intelligence, surveillance and reconnaissance as well as strategic assessment capacity are essential to ensure maximum warning and preparation time to counter armed and terrorist attacks. Intelligence sets out the requirements for the improved provision, exchange and analysis of political, economic, security and military intelligence, and closer coordination of the intelligence producers.

Successful military operations require the preparation of detailed plans to ensure that all the relevant factors have been carefully anticipated and weighed. The number of such factors is potentially great and includes the size, location, and likely duration of an operation; the necessary command arrangements; the rules under which it will be conducted ; special requirements imposed by the terrain, weather, and the availability (or otherwise) of local government support and the state of the local infrastructure; appraises the intentions and capabilities of adversaries; the need to collaborate with regional and international organizations; possible humanitarian emergency services.

Operational planning allows Dephan and Mabes TNI to prepare both for possible situations and for crisis response operations like those involving interdiction of illegal activities related to maritime security, border area surveillance and enforcement of binding legal agreements. Dephan/Mabes TNI develops, and periodically refines, operational planning processes that produce both advance (or contingency) plans and crisis response plans.

An essential element of this process is the requirement for political control and approval from the chief executive, and, where required by law, in consultation with and the consent of, the Commission for Defense and Foreign Affairs of Parliament (Komisi I, DPR-RI). The planning process needs to be flexible enough to accommodate interactive exchanges of political direction and military advice and to adapt plans to evolving political guidance during a crisis.

Force generation is the process by which Dephan indicate what forces and capabilities they will make available, for what period of time, against a list of requirements that Mabes TNI have elaborated for a particular operation, in the light of an operation plan, or for special needs like deployment or rotations of the Rapid Response Force.

Dephan is seeking to tighten the links between defense planning, operation planning, and force generation so that defense planning will be more rigorously conducted on the basis of likely future operational requirements. On the other, operation planning and force generation will be more fully guided by information on what capabilities are, or are likely in the future to be available. Dephan is also improving the force generation process itself to make it more comprehensive and forward-looking in the light of the country’s archipelagic structure.



Framework for Dephan’s defense planning and management process 

In practical terms, there is need to standardize defense planning processes and defense management cycles. Each one of the services often devise individual and independent planning procedures and apply specific management methods unique to its mission. They also contribute differently to the overall aim of providing Dephan with the forces and capabilities to undertake the full range of its missions.

With the differences between the various components of the defense planning process and interrelated management areas, the need for harmonization and coordination is essential. While force planning has provided a basis for this harmonization and coordination, more was required. Dephan has directed the Agency for Research and Development (Balitbang)and Agency for Management Training(Badiklat) agencies to produce a comprehensive political guidance in support of the General Policy for National Defense.


Efforts to enhance and coordinate defense management are not limited to just within Dephan and Mabes TNI. Dephan needs to keep abreast of policy and strategic decisions undertaken by related ministries, especially the ministries for finance, national planning, industry, research and technology, maritime and fisheries, public works, energy and mineral resources.


The overall objective is to effectively and efficiently apply the capability requirements needed by utilizing the full range of human, natural as well as financial resources available to the government and to the nation as a whole.

About Prof. Juwono Sudarsono, M.A., Ph.D.

Born March 5, 1942 in Banjar Ciamis, West Java, Indonesia, was educated at the University of Indonesia, Jakarta (B.A., M.S.); The Institute of Social Studies, The Hague, Netherlands; The University of California at Berkeley, USA (M.A.) ; and The London School of Economics, UK (Ph.D).


Son of the late Dr Sudarsono, who was Minister of Home Affairs and Minister for Social Affairs in the late 1940s, Juwono served as head of the department of International Relations and dean at the Faculty of Social and Political Science, University of Indonesia (1985-1994) and taught at The School of Public and International Affairs, Columbia University, New York City in 1986-87.

In public service, Juwono Sudarsono has served as Vice Governor of The National Defence College (Lemhannas), 1995-1998; Minister of State for the Environment under President Soeharto, 1998; Minister for Education and Culture under President B.J. Habibie, 1998-1999; Minister for Defence under President Abdurrahman Wahid, 1999-2000; Ambassador to the United Kingdom under President Megawati Soekarnoputri, 2003-2004; and Minister for Defence under President Susilo Bambang Yudhoyono, 2004-2009. 

Apart from interests in defense strategy, management and planning, Juwono Sudarsono strongly believes in “non-military defence”, including the defence of human resources and skills, of science and technology, as well as the defence of social justice and cultural values as constant processes of nation and character building.

Saturday, September 1, 2012

Defense Industry

The defence industry, also called the military industry, comprises government and commercial industry involved in research, development, production, and service of military materiel, equipment and facilities. It includes:
  • Defense contractors: business organizations or individuals that provide products or services to a military department of a government
  • The Arms industry, which produces guns, ammunition, missiles, military aircraft, and their associated consumables and systems
It can also include:

See also


Source: Wikipedia

Saturday, August 18, 2012

Industri Pertahanan

Industri pertahanan adalah Industri Nasional/Internasional (pemerintah maupun swasta) yang produknya baik secara sendiri maupun kelompok, termasuk jasa pemeliharaaan dan perbaikan, atas penilaian pemerintah dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pertahanan negara.

Industri pertahanan, juga disebut industri militer, terdiri dari pemerintah dan industri komersial yang terlibat dalam penelitian, pengembangan, produksi, dan pelayanan peralatan dan fasilitas militer.



Penulis dan Peneliti Muda Bersama Duta Besar (Dubes) Republik Islam Iran beserta rombongan Presidency Center for Innovation and Technology Cooperation (CITC) Iran, yang dipimpin oleh Dr. Mr. Hamid Reza Amirinia. 
Kriteria
  1. Industri pertahanan merupakan bagian dari industri nasional dan tergolong dalam kelompok industri strategis.
  2. Industri pertahanan bersumber dari potensi industri nasional, baik milik pemerintah maupun swasta.
  3. Industri pertahanan berkemampuan menghasilkan sistem senjata, peralatan dan dukungan logistik serta jasa-jasa bagi kepentingan pertahanan, disamping itu mampu menghasilkan produk-produk komersial dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
  4. Industri pertahanan dalam pengelolaannya tidak terlepas dari prinsip-prinsip ekonomi yang berlaku.
  5. Industri pertahanan harus mampu mengkonversikan/ menstransformasikan kapasitas dan kapabilitas produksinya secara cepat selaras dengan tuntutan kebutuhan pertahanan khususnya dalam keadaan darurat/perang.
  6. Industri pertahanan merupakan sandaran utama penyelenggaraan mobilitas industri dalam keadaan darurat perang.
  7. Industri pertahanan atau setidak-tidaknya industri pendukung administrasi dan logistik harus diupayakan tersebar diseluruh wilayah nasional.
  8. Industri pertahanan dikembangkan secara bertahap sesuai perkembangan postur Angkatan Bersenjata dan tuntutan perkembangan teknologi sistem senjata.
  9. Industri pertahanan harus mampu berperan dalam mengurangi ketergantungan dari luar negeri dibidang pemenuhan kebutuhan sarana pertahanan.
  10. Industri pertahanan harus didukung oleh kemampuan RDT & E (Reseach Development Test & Evaluation) yang tangguh dan konsisten terhadap perkembangan Iptek.





Terdapat lima kemampuan yang ingin dikuasai Indonesia dalam jangka pendek dan menengah.


Pertama, industri kendaraan tempur (Ranpur/ armor vehicle) dan kendaraan taktis (Rantis/ tactical vehicle).

Kedua, industri kapal perang atas air (combat vessel) dan bawah air (submarine) serta kapal-kapal pendukungnya (support vessel)," kata Ketua KKIP yang juga Menteri Pertahanan Prof. Purnomo Yusgiantoro, Ph.D.

Ketiga, industri pesawat militer angkut ringan dan sedang (light dan medium military air transport, fix wing and rotary wing) serta pesawat tempur (fighter).

Keempat, industri senjata ringan dan berat untuk perorangan dan kelompok/ satuan (pistol, assault riffle, caraben, SMR, SMB, mortir, AGL, RPG) sampai dengan meriam dan munisinya (MKK dan MKB), roket/MLRS, torpedo, serta peluru kendali.

Sedangkan kelima adalah industri peralatan netword centric operation system, mulai alat komunikasi radio, sistem kendali/ kontrol, komputasi, dan komando untuk penembakan senjata, radar dan thermal optic untuk pencari/deteksi dan penjajak sasaran walau dengan kemampuan industri yang relatif masih terbatas.



Terdapat 10 kemampuan yang ingin dikuasai Indonesia dalam jangka panjang


1. Mesin-mesin Cerdas Seukuran Atom, Nanoteknologi
2. Zaman Manusia-manusia Super, Rekayasa Genetika
3. Energi terdahsyat di Alam Semesta, Fusi Nuklir
4. Regenerasi Wolverine, Stem Cell
5. Komputer Kuantum
6. Baju Menghilang Harry Potter, Metamaterial
7. Space Science and Technology, Tangga Menuju Bintang-bintang
8. Scramjet/ Pesawat Hypersonic
9. Hidup Ratusan Tahun, Resveratrol.
10. Penyatuan Manusia dan Mesin, Singularitas.

Friday, August 10, 2012

Masa Depan Pertahanan Indonesia


Oleh: Mayor Inf Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc., MPA.

(lahir 10 Agustus 1978; umur 34 tahun) adalah anak pertama Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan Kristiani Herawati. Ia menikahi Annisa Larasati Pohan pada awal Juli 2005.

Agus menyelesaikan pendidikan SMA di SMA Taruna Nusantara tahun 1997 kemudian selesai dari Akademi Militer tahun 2000. Agus kemudian menyelesaikan gelar Master di bidang Strategic Studies di Institute of Defence and Strategic Studies, Nanyang Technological University (NTU), Singapura pada 2006. Pada Mei 2010, Agus meraih gelar Master of Public Administration pada John F. Kennedy School of Government, Harvard University, Massachusetts AS.Seperti ayahnya, Mayor Agus juga mengabdi di militer. 

Jabatannya saat ini adalah Wadan Yonif Mekanis 201/Jaya Yudha di Jakarta. Agus ikut serta dalam Pasukan Garuda XXIII/C yang telah diberangkatkan sebagai bagian dari Pasukan Perdamaian PBB di Libanon (UNIFIL). Ia tergabung dalam Batalyon Infanteri (Yonif) Mekanis.


The International Conference on Futurology   





The Embassy of the Republic of Indonesia in Washington DC together with Indonesia Investment Coordinating Board (BKPM) and Modernisator had succesfully organized a Conference on Futurology in Jakarta with the theme :How the World Will Change in the Next 30 Years: World Experts Discuss the Global Trends that will Sweep our Futures at Shangri-La Hotel on July, 28 2011.


To download the information and presentations :


1.  The Flyer Click Here
2.  H.E. Mr. Dino Patti Djalal Click here
3.  H.E. Mr. Gita Wirjawan Click here
4.  Mr. Chairul Tandjung Click here
5.  Mr.Zubaid Ahmad Click here

To download the videos:

1.  H.E. Mr. Gita Wirjawan Click here
2.  H.E. Mr. Dino Patti Djalal Click here
3.  Capt. Inf. Agus Harimurti Yudhoyono Click here

Wednesday, August 1, 2012

Military Education



A military is an organization authorized by its greater society to use lethal force, usually including use of weapons, in defending its country by combating actual or perceived threats. The military may have additional functions of use to its greater society, such as advancing a political agenda e.g. military junta, supporting or promoting economic expansion through imperialism, and as a form of internal social control. As an adjective the term "military" is also used to refer to any property or aspect of a military. Militaries often function as societies within societies, by having their own military communities.


The profession of soldiering as part of a military is older than recorded history itself. Some of the most enduring images of the classical antiquity portray the power and feats of its military leaders. The Battle of Kadesh in 1274 BC was one of the defining points of Pharaoh Ramesses II's reign and is celebrated in bas-relief on his monuments. A thousand years later the first emperor of unified China, Qin Shi Huang, was so determined to impress the gods with his military might that he was buried with an army of terracotta soldiers. The Romans were dedicated to military matters, leaving to posterity many treatises and writings as well as a large number of lavishly carved triumphal arches and victory columns.

Wikipedia.

Friday, June 1, 2012

Profil Perusahaan

Mengenai Kami:

Is a global defense, and security, and advanced technology company with worldwide interests.